The 1st Place Where We Become Us
Saya terlilit utang menulis terhadap blog ini.
Ya, karena pernah terpikir untuk menspesifikasi genre tulisan-tulisan saya secara lebih detil, saya memutuskan untuk memiliki tiga blog.
Selain blog ini, saya mempunyai blog puisi dan blog ulasan sekaligus pengalaman yang saya dapatkan dari film-film favorit saya beserta inspiring movie quotes-nya.
Antara puisi-film-dan cerita sehari-hari tentu terdengar sedikit kacau kan kalau kita campurkan dalam satu media tulisan? ^_^
Awalnya saya kira tiga blog itu akan membuat tulisan saya lebih terorganizir.
Sebab seringkali kita tidak bisa menebak apa yang ingin kita tulis hari ini.
Hari ini ingin menulis film, besoknya ternyata ada "wangsit" lewat untuk menulis puisi..hahaha
Saya pikir polanya akan berjalan seperti itu.
Tapi kenyatannya, mood saya lebih sering tergerak untuk menulis puisi.
Saya tidak paham juga penyebab pastinya.
Karena saya ingat sekali ada saatnya dimana saya sama sekali pasif menulis puisi.
Tetapi ada juga kalanya saya rutin mendapatkan inspirasi-inspirasi ringan untuk menulis puisi.
Sepertinya ini dia yang terjadi pada saya akhir-akhir ini.
Akibatnya, semua cerita-cerita lucu dalam pernikahan ataupun pengalaman orang lain tentang warna-warni dunia pernikahan yang ingin sekali saya dokumentasikan di blog ini, mesti dikesampingkan sebentar.
Tapi Alhamdulillah saya tipe orang yang sampai sekarang masih bisa mengingat dengan jelas detail kejadian menggelikan dan menarik dalam hidup saya.
Ini juga alasan kenapa saya pernah menyebutkan bahwa hal-hal yang saya tulis di blog ini adalah ulasan pengalaman sehari-hari.
Karena menurut saya selama kita menghargai pelajaran dan kenangan yang dapat kita petik dari sebuah kejadian, hal tersebut akan selalu bisa menjadi pengalaman menarik, kapanpun kita mengingatnya.
Justru, tidak jarang jika kita tidak sengaja teringat kembali tantangan hidup kita yang sudah berhasil kita lewati, hikmah pengalaman tersebut bisa menyumbangkan satu inspirasi kebaikan lagi untuk situasi yang mesti kita hadapi hari ini.
Oke.
Hari ini saya teringat nasihat baik tentang kehidupan pascapernikahan yang dulu pernah saya terima dari tante saya, jauh sebelum saya dan suami mempersiapkan pernikahan.
Saya masih ingat sekali, hari itu ketika tante saya mengetahui bahwa keluarga calon suami sudah sering bersilahturahmi dengan keluarga saya, tante saya iseng memberi ide tentang cara berumah tangga yang mandiri sejak dini.
Saya memang dekat sekali dengan beliau sejak kecil.
Tante bilang bahwa ada baiknya jika setelah menikah, kita tidak terlalu lama tinggal di rumah orang tua.
Tidak ada artinya kita menikah kalau kita ternyata belum siap untuk memulai hidup sendiri di rumah yang mungkin belum tentu senyaman rumah orang tua kita.
Karena satu hari setelah acara pernikahan itu selesai, saat itu pula hidup berrumah tangga harus siap kita mulai secara mandiri.
Termasuk dalam hal berhasil hidup mandiri di rumah pertama yang bisa kita miliki lewat berbagai opsi, seperti mengontrak, membeli sendiri, dan sebagainya.
Lagipula, tambah Tante, kalau kita punya suami namun tetap tinggal dengan orang tua, itu sama saja dengan bersuami tapi belum bisa mengatasi masalah hidup kita sendiri.
Tapi kalau kita sudah menikah dan tinggal di tempat sendiri, kita bukan hanya sudah menggenapi hidup, melainkan juga sudah siap menentukan sikap dalam mengendalikan karunia dan masalah yang akan menyapa di hari-hari kita selanjutnya.
Jadi rumah merupakan simbol bahwa pernikahan saya adalah tanggung jawab saya, bukan beban orang tua saya.
Saya mengamini pendapat positif yang Tante berikan.
Saya kira anjuran Tante sangat ada benarnya.
Mungkin respon yang saya tunjukkan ini dilatarbelakangi oleh situasi orang tua yang sudah belasan tahun berpisah.
Tantangan terbesar dari gaya hidup nomaden bersama orang tua kita yang sudah berpisah adalah seringkali kita harus memaklumi sikap orang tua yang suka tidak sadar membahas perihal masa lalu rumah tangga mereka di depan anak-anak, bahkan sampai menyentuh limit dan cara penyampaian yang semestinya tidak perlu mereka lakukan.
Bagi saya, privasi sesensitif itu semestinya tidak boleh dijadikan pembicaraan umum di depan anak-anak.
Karena apapun yang terjadi di antara suami istri, itu murni masalah mereka.
Bersama atau bercerai, anak-anak harus tetap diingatkan akan kebaikan ayah/ibunya, bukan dibiarkan mengetahui semua daftar kesalahannya sebagai suami/istri.
Karena tidak ada anak-anak yang suka mendengar DNAnya dihina oleh ibu/ayah mereka sendiri.
Selama masih tinggal di rumah ibu/ayah, saya hanya bisa mengingatkan mereka setiap kali kebiasaan buruk tersebut muncul.
Tapi setelah saya menikah, saya harap ibu/ayah dapat lebih dewasa dalam menyikapi efek perceraian mereka.
Dan Tante saya mengatakan, salah satu hal yang bisa membuat orangtua kita lebih dewasa dalam menjaga sikap untuk tidak menggiring anak dalam pusaran perceraian mereka, adalah dengan berusaha hidup mandiri di tempat baru.
Dengan begitu, mau tidak mau, orang tua akan melihat kita dengan cara yang mudah-mudahan semakin dewasa pula.
Singkat kata, ketika saya iseng diskusikan dengan calon suami, ia juga setuju dengan ide tersebut.
Jauh sebelum menikah, kami sama-sama berusaha rutin menabung semampunya untuk mengumpulkan dana rumah pertama.
Finally..the most waited day had come.
Setelah ijab qobul, saya dan suami hanya tinggal di rumah orang tua saya selama tiga minggu.
Perasaan kami pada saat itu masih sama seperti sebelum menikah, bahwa tidak berlama-lama tinggal di rumah orang tua adalah pembelajaran pertama di dalam pernikahan yang harus kami taklukkan.
Secara garis besar, kedua orang tua kami setuju-setuju saja.
Papa saya tidak melarang niat baik kami.
Pun begitu, di hadapan saya dan suami, papa sempat mengutarakan secara baik-baik beberapa rencana yang sudah lama ia pikirkan dan ingin ia laksanakan jika kelak saya berumah tangga.
Papa mengatakan bahwa mungkin kami tidak perlu terburu-buru untuk hidup mandiri.
Sejak dulu dia memiliki niat baik untuk memberi saya sedikit "bekal" hidup berrumah tangga.
Tapi melihat situasi usaha ayah yang sedang struggling dan tidak kondusif untuk membelanjakan benda-benda berbudget tinggi selama 5 tahun terakhir ini, ayah sepertinya terpaksa menunda keinginan tersebut sampai saatnya sudah lebih memungkinkan nanti.
Papa menjelaskan pada kami, ia memiliki niat demikian sama sekali bukan karena tidak yakin kami akan mampu mengusahakan sendiri kebutuhan premier yang dibutuhkan dalam berumah tangga.
Perceraiannya dengan ibu saya adalah hal yang melatarbelakanginya untuk tetap merasa bertanggung jawab penuh pada kebutuhan saya meskipun saya telah menikah.
Ia merasa, kesalahannya dalam membina rumah tangga di masa lalu, membuat dia tidak bisa berhenti peduli terhadap anak-anak.
Trauma perceraian itu juga yang membuat papa merasa perlu membekali pernikahan saya dengan satu atau dua hal penting.
Sekali lagi, papa berinisiatif demikian bukan karena ia berburuk sangka atau mendoakan saya akan mengalami kegagalan pernikahan seperti yang ia alami.
Saya tahu pasti, papa sangat mensyukuri kualitas laki-laki yang penyayang dan bertanggung jawab dalam diri suami saya.
Sebagai kepala keluarga yang telah banyak menenggak asam garam kehidupan, papa saya hanya ingin berjaga-jaga karena ketika menyangkut umur dan tantangan, hidup tidak ada yang maha tahu kecuali Allah.
Andaikan dalam perjalanan pernikahan saya, kami mesti mengalami cobaan atau musibah yang tidak disangka-sangka, paling tidak papa bisa merasa lega karena niat baiknya hari ini bisa mencegah anak cucunya dari kemalangan atau kesusahan.
Karena teringat niatnya tersebut, Papa sempat memastikan apakah saya tidak mau bersabar sedikit lagi untuk hidup mandiri.
Saya dan suami menghargai pendapat papa, karena saya paham beliau hanyalah orang tua yang tidak ingin anaknya hidup susah di tempat orang lain.
Saya menjelaskan pada beliau bahwa tidak ada pasangan pengantin baru yang bisa menemukan tempat tinggal pertama yang patut dibandingkan dengan kenyamanan rumah orang tuanya .
Seandainya tantangan yang harus kami temui di "rumah pertama kami", itu adalah pembelajaran yang akan mendewasakan pola pikir kami terhadap pernikahan.
Mungkin pengalaman di rumah semacam itulah yang hikmahnya justru akan selalu menyisakan manfaat besar bagi kehidupan pernikahan kami di tahun-tahun berikutnya.
Saya dan suami tidak fokus pada harapan bisa menjalani pernikahan dengan perasaan super nyaman berkat fasilitas dari orang tua.
Kami merasa, salah satu kesempatan pertama bagi kami untuk mengasah nyali berrumah tangga adalah ketika kita berani menempati rumah yang diperoleh bukan dari hasil pemberian orang tua.
Kami harap dengan berani menyikapi tantangan yang kami temui nanti di rumah kontrakan sendiri, kami bisa belajar semakin menghargai uang, nilai, dan hal lain yang terkadang mesti kita korbankan demi menghasilkan sikap mandiri, tanggung jawab, kebebasan, dan kedewasaan terhadap dunia baru yang kita sebut pernikahan.
Untuk ke depannya pun, walaupun sudah mengetahui niat baik ayah, saya dan suami tetap ingin berusaha untuk tidak sepenuhnya bergantung pada hal tersebut.
Suami saya menjelaskan pada ayah saya bahwa papa tidak perlu terlalu risau akan bagaimana cara kami memenuhi semua kebutuhan.
Sebisa mungkin suami akan berusaha memberikan yang terbaik pada saya dan anak-anak kami kelak.
Suami saya juga mengatakan, kalaupun nanti tetap ada pemberian papa pada saya, itu sepenuhnya adalah milik saya, bukan milik kami bersama.
Suami saya justru ingin kalau saya menerima sesuatu dari ayah, apapun itu status kepemilikannya harus atas nama saya agar jika sesuatu terjadi dengan suami, keamanan finansial saya dan anak-anak kami terjamin dan tidak ada pihak lain yang bisa meragukan status kepemilikan tersebut.
Mengetahui penjelasan dari saya dan suami, papa pun memaklumi keinginan kami untuk keukeuh mengontrak rumah dengan penuh makna.
Saya senang bisa menyikapi dengan baik keinginan papa tapi tetap bisa menjalankan rencana kami untuk mengawali rumah tangga terpisah dari orang tua.
Satu hal yang saya syukuri dari suami saya, dia adalah partner teamwork yang menyenangkan dan berkomitmen penuh untuk menikmati seni hidup mandiri.
Sejak memutuskan untuk menikah, saya juga mantap memutuskan untuk tidak terbiasa meminta lagi pada orang tua saya.
Kalau orang tua saya berinisiatif untuk memberi kami sesuatu, kami tentu sangat menghargainya selama itu tidak memberatkan mereka.
Tapi yang jelas, kami bisa memastikan pemberian mereka tersebut bukan hasil termotivasi oleh rengekan atau keluhan kami akan sulitnya memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri.
Saya dan suami memiliki visi yang sama mengenai hal ini.
Suami dibesarkan oleh seorang ayah yang sangat keras mengajarkan bahwa anak laki-laki mesti memiliki sifat bangga bisa menyediakan segala sesuatunya sendiri tanpa merengek-rengek pada orang tua.
Sementara saya dilatih dengan tegar dan dewasa sejak dini akibat perpisahan orang tua.
Keputusan mereka menyisakan pelajaran bahwa seumur hidup saya harus membuktikan diri bahwa saya bisa menjadi anak broken home yang memiliki sikap dan prestasi, serta saya tidak boleh memperalat perceraian orang tua saya sebagai alasan untuk bersikap kekanak-kanakan apalagi memeras mereka untuk membelikan saya barang-barang mahal.
Dari dulu saya tahu papa merasa sangat bersalah melihat saya harus dibesarkan dalam sebuah perceraian.
Setiap kali ada kesempatan, dia selalu bertanya apakah saya perlu barang ini barang itu, hanya untuk sekedar mengurangi rasa bersalah yang menggerogoti habis sisi tanggung jawab seorang ayah yang hidup nyata dalam diri dia.
Jawaban saya akan barang-barang itu selalu sama dari dulu, kalau saya belum butuh, saya tidak akan berpura-pura butuh.
Saya tidak akan memanfaatkan rasa sayang dan besarnya peduli yang papa saya miliki demi kemewahan dan rasa nyaman dalam hidup apalagi dalam pernikahan saya.
Mungkin prinsip "orang tua luar biasa peduli, tapi saya pun harus hormat dan tahu diri" itu yang membuat hubungan saya dengan ayah semakin membaik setelah saya menikah.
Baik. Enough with a little blast from the past.
Sekarang mari saya lanjut ke proses mencari rumah kontrak pertama..^_^
Prioritas kami selama proses menyewa rumah saat itu adalah lokasi yang strategis bagi kampus saya di Kebayoran Baru dan kawasan perkantoran Sudirman, tempat suami saya bekerja.
Pastinya hal ini disebabkan oleh status saya yang pada saat itu sebagai mahasiswi tingkat akhir.
Saya beruntung pada saat menikah saya tidak memiliki lagi tanggungan mata kuliah wajib yang mesti saya ikuti.
Saya hanya masih memiliki beban menyelesaikan skripsi, sambil beradaptasi dengan tugas-tugas rumah tangga.
Akhirnya setelah melakukan survey ke beberapa tempat, kami sepakat untuk mengontrak rumah di daerah Fatmawati.
Kawasan ini juga memudahkan kami untuk bersilahturahmi ke rumah ayah dan ibu saya.
Sampai sekarang, kami selalu mengenang rumah pertama ini lewat panggilan "Rumah Raya", yang merujuk pada nama pemilik rumah tersebut. ^_^
Saya masih ingat perasaan sumringah dan semangat yang positif sekali menjelang proses menyewa rumah Raya ini.
Walaupun rumah tersebut tidak sebagus kos-kosan eksklusif, tapi saya dan suami memang tidak berniat menempati kos-kosan mewah.
Karena kami menginginkan rumah, bukan kamar kos-kosan.
Kalau menempati kamar kos, otomatis tanggung jawab kami hanya seputar kamar tidur dan kamar mandi saja.
Dan sudah dapat ditebak, ruang gerak kamar kos yang terbatas akan membuat saya tidak memiliki pilihan selain membeli masakan siap saji untuk memenuhi kebutuhan kuliner saya dan suami setiap hari. hahaha ^_^
Tapi kalau menyewa rumah kecil, diharapkan opsi tersebut bisa memotivasi saya untuk mengolah masakan sendiri di dapur serta bertanggung jawab atas kebersihan dan penataan ruang tamu, kamar, dan sebagainya.
Selama kurang lebih 2,5 tahun menikah, saya dan suami mengalami dua kali pindah rumah.
Rumah kontrakan pertama, sudah pasti adalah rumah Raya yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Kami menempati rumah Raya selama 10 bulan.
Sementara rumah kontrakan yang sejak 1,5tahun lalu hingga sekarang kami tempati berlokasi di Bintaro.
Pemiliknya bernama ibu Maggie, sehingga walaupun kami tidak pernah menamakannya seperti rumah Raya, boleh saja kalau teman-teman mau melabelinya dengan rumah bu Maggie. hahahaha ^^
Kesamaaan pengalaman yang selalu kami ingat sampai sekarang dari proses menyewa kedua rumah ini adalah faktor being lucky by accidentally on purpose.
Kami menemukan kedua rumah ini selalu tanpa sengaja dan tanpa ekspektasi berlebihan.
Saya dam suami mulai melakukan hunting rumah kontrakan di sekitar Fatmawati-Cipete sejak satu bulan sebelum pernikahan.
Minimnya waktu dan tenaga yang kami miliki untuk menyiapkan detil pernikahan membuat kami hanya sempat melakukan dua kali hunting rumah, itu pun belum mendekati kriteria yang kami harapkan.
Setelah menikah, hunting rumah dilanjutkan.
Tidak terlalu serius, ya tipikal hunting santai dan iseng saja sembari pulang bareng suami setelah ia selesai kerja.
Semua rumah yang kami temui sebelum menyewa rumah Raya, berlokasi tidak nyaman, terlalu besar, memiliki penerangan yang kurang baik, dan melebihi budget sewa yang kami sanggupi.
Tapi tetap saja ya, kalau jodoh memang ada saja jalannya.
Funny story about how we found this so-called "the house of Raya".
Hari itu, kami mengecek rumah kontrakan terakhir yang ada dalam daftar kami.
Rumahnya terlalu besar, pun demikian kami tetap menanyakan no.kontak pemiliknya pada si penjaga rumah.
Suami saya juga memberikan no.hp-nya.
That's it. We just went home and never looked back.
Keesokan harinya, suami saya ditelepon oleh pemilik rumah tersebut, dan ya, ini dia orangnya yang kelak akan kami kenal sebagai pak Raya. wahahaha ^_^
Pak Raya menanyakan perihal apakah kami berminat dengan rumah yang kami kunjungi kemarin.
Suami iseng menjelaskan bahwa kami tidak berminat karena kami mencari rumah kontrakan dengan budget sewa sekian.
Di luar dugaan, pak Raya merekomendasikan rumah kontrakan lain miliknya yang berbiaya sewa persis dengan budget kami.
What a very small world.
Mana kita tahu ternyata bapak ini juragan rumah kontrakan untuk berbagai tipe rupanya. ^o^ wahahahaa
Saya dan suami langsung menyempatkan diri untuk mengecek langsung kondisi rumah tersebut yang berlokasi tidak jauh dari ITC Fatmawati.
Rumahnya terletak persis di pinggir jalan pintas yang menghubungkan Fatmawati dan Cipete.
Saya lihat di sekitar lokasi tersebut, rumah kontrakan dan kos-kosan memang menjamur sekali.
Mulai dari kos-kosan biasa, kos-kosan elit, sampai rumah kontrakan dengan berbagai tipe.
Di lokasi tersebut, Pak Raya memiliki dua rumah kontrakan yang dibangun secara berdampingan.
Sayang rumah kontrakan yang lahan garasinya sedikit lebih besar sudah lama disewa oleh satu keluarga.
Sehingga opsi yang tersisa bagi kami hanyalah rumah kontrakan yang berukuran sama, namun dengan space garasi yang jauh labih kecil.
Kekurangan dari rumah kontrakan ini adalah eksterior bangunannya sudah tua, kualitas cat yang belum diperbaharui, dan lokasinya yang persis di tikungan jalan sehingga akan cukup menyulitkan bagi keluarga atau tamu untuk memarkir kendaraan bila mereka datang berkunjung.
Tapi saya bersikap realistis.
Dibandingkan dengan rumah-rumah kontrakan yang kami temui sebelumnya, interior bangunan rumah ini jauh lebih simpel, jelas, dan baik untuk budget serta lokasi yang sangat terjangkau.
Saya sempat tidak mengindahkan bentuk luar bangunannya, karena sudah sibuk merasa "klik" pada tatanan interiornya.
Ada ruang tamu yang merangkap ruang tengah, dua kamar, satu kamar mandi, dan dapur.
Catnya yang krem terang membuat ruangan tidak seredup ruangan di rumah-rumah kontrakan yang kami lihat sebelumnya.
Walaupun suami sempat menanyakan apakah benar saya tidak mau cari-cari rumah kontrakan lain lagi, tapi saya meyakinkan dia bahwa kami akan baik-baik saja tinggal di rumah ini.
Saya tahu suami pada saat itu tengah bersikap peduli seperti ayah saya, ia ingin memastikan agar saya tidak menempati rumah sewa yang terlalu jauh berbeda nyamannya dari rumah orang tua saya.
Tapi saya merasa, saya mau mencoba menjalani pernikahan saya di rumah ini dan saya pasti bisa.
So, the next thing we knew, we actually moved and officially lived there for the next 10 months.
Tinggal di rumah ini selama 10 bulan rasanya seperti mengikuti mata kuliah dasar dan wajib di Universitas Pernikahan dan kami harap kami cukup berhasil "lulus" dengan nilai A. ^^
Di rumah ini kami belajar sebagai team work dengan melakukan pembagian departemen kerja dan distribusi waktu, mengingat saya juga harus menyelesaikan skripsi saya.
Saya belajar bertanggung jawab akan kebersihan rumah dan seni memasak sendiri.
Dengan mengalami sendiri semua pembelajaran itu, saya juga jadi semakin menghargai kerja keras dan dedikasi ibu-ibu rumah tangga dan para asisten rumah tangga.
Saya dan suami juga menjadi semakin paham bahwa bentuk, besar atau kecilnya rumah bukan batasan untuk menikmati tiap detik dari pernikahan kami.
Kami sejak awal berkomitmen untuk tidak ingin menjadi pasangan yang baru terbersit untuk mensyukuri dan menikmati momen pernikahan kami setiap hari nanti, ketika kami sudah menempati rumah besar sendiri.
Kami bukan mereka.
Rumah Raya yang kecil dan apa adanya ini adalah saksi usaha kami untuk mengunyah tantangan sambil tidak pernah lupa menghidupkan bahagia pernikahan setiap hari.
We believe that everyday matters.
Eventhough we can't always have a good day in our daily life, but we are more than totally compeletely 100% sure that there's always always always something good to be thankful about in our everysingle day.
Kami terlalu percaya bahwa kalau sejak awal kami mau kreatif mensyukuri hal-hal kecil dalam pernikahan kami, Allah pasti akan dermawan sekali memberi jalan rejeki dan kebahagiaan pada pernikahan ini dari arah yang tidak pernah kami duga.
And you know what..believe it or not, that's what exactly He's been giving to us for these only 2 years of our marriage..
Hikmahnya, ternyata keputusan kami untuk "nekad" mengontrak rumah sejak awal adalah keputusan yang tidak hanya tepat, malainkan juga akan sangat berefek lama manfaatnya.
Semua detail itu pasti akan saya ceritakan ulasannya satu persatu setiap kali saya iseng mengingatnya kembali.
Saya ingin men-tag posting cerita-cerita tersebut dengan label "story from the 1st place where we become us".
Banyak kenangan, pembelajaran, tawa, tengkar, kepanikan, adaptasi, bahkan perayaan-perayaan kecil yang kami alami di rumah ini.
Beberapa diantaranya tetap tersimpan dalam bentuk foto.
Walaupun kemarin ketika iseng membuka lagi folder foto-foto di tahun pertama pernikahan, saya baru sadar bahwa saking sibuk mengurusi rumah dan sebagainya, ternyata kami hanya pernah sekali mengambil foto rumah Raya, sementara sisa foto lainnya hanyalah foto-foto bukti kenarsisan diri. >_< hahaha..
So, here they are. ^_^
A few pieces of the first year of our marriage while spending our very own life in that memorable little house..
Rumah Raya, pertama kali beres-beres pindahan..maaff..kelihatan sekali berantakannya yaah..xixixi ^_^ |
![]() |
Our cozy little room, candid picture of hubby while he was reading dzikir early in the morning |
![]() |
Hubby's 25th B'day celebration! |
![]() |
Enjoying this Tiramisu Cake and Ice Blended Caramel Cappucino on his b'day Had a biteeee ^^ |
![]() |
Smiley on your special day ^^ |
![]() |
Striked a crazy pose..hahaha |
![]() |
Angkringan favorit di Fatmawati : SEGO PEDES! Yum to the My! |
![]() |
Bon, apetite! (say it excitingly like Julia Child ^_^) |
![]() |
Menu favorit suami di Sego Pedes : Sate udang, krecek, semur ceker dan nasi bakar Dinner at Sky Dining, Plaza Semanggi |
![]() |
Great lunch on the weekend |
![]() |
Friday movie night |
![]() |
Tried on a new funny glasses |
0 Comments